
Oleh : Rastono Sumardi
Kabut tipis menggantung di atas Desa Sinabun, kampung kecil di kaki bukit nikel, dua jam dari Kota Kabupaten. Dulu udara di sini segar, tapi kini bau logam dan debu tambang menusuk hidung. Di depan rumah papan yang mulai rapuh, duduk Solihun, menatap sawahnya yang telah tertutup lapisan lumpur merah.
“Dulu tempat ini hijau, Nak. Sekarang, air saja bau besi,” gumamnya lirih kepada anaknya, Ari.
Air sungai yang dulu jernih kini berubah merah kecoklatan. Ladang dan sawah mati. Bahkan ayam yang minum di parit jatuh mati satu per satu. Semua itu dimulai sejak perusahaan tambang nikel membuka galian besar di atas bukit tanpa memperhatikan drainase dan vegetasi.
Ketika perusahaan datang, mereka berjanji: “Kami akan buka lapangan kerja, bantu ekonomi desa.”
Warga percaya. Tapi begitu alat berat mulai beroperasi dan jalan tambang dibuka tanpa sistem penahan erosi, bencana mulai datang.
Setiap hujan turun, air bercampur tanah laterit dan limonit yang mengandung logam berat mengalir deras ke sungai. Vegetasi di lereng yang hilang membuat tanah kehilangan daya serap, menimbulkan surface runoff tinggi. Lumpur menumpuk di pemukiman, membuat jalan licin dan sawah tak lagi bisa ditanami.
“Ini sudah masuk kategori sedimentasi ekstrem, Pak,” kata Ari, yang pernah ikut pelatihan lingkungan di kampus swasta terbaik di kotanya. “Kalau begini terus, sungai bisa mati total.”
Tapi laporan warga ke pemerintah daerah tak direspons. “Itu cuma pengaruh hujan besar,” jawab petugas dengan nada enteng.
Malam itu hujan menggila. Petir memecah langit, dan dari bukit terdengar suara bergemuruh seperti tanah runtuh. Lumpur bercampur batu besar menerjang pemukiman Sinabun. Lima rumah hanyut, dua warga hilang—salah satunya Rini, istri Ari yang baru saja melahirkan.
Keesokan harinya, lumpur menutupi hampir seluruh desa. Ari hanya bisa memungut potongan kain bayi di tepi sungai. Desa berduka. Barulah setelah video kejadian itu viral, pemerintah datang.
Mereka baru sadar, lokasi tambang berdiri tepat di catchment area—wilayah resapan air yang seharusnya dilindungi.
Beberapa hari kemudian datang seorang perempuan muda bernama Wirda Amalia, aktivis lingkungan dari kampus Universitas Tombang. Ia datang bersama tim mahasiswa dan dosennya membawa alat uji air sederhana. Dengan jilbab lusuh dan sepatu bot kotor, ia menampung air sungai ke dalam tabung.
“Kadar logam berat di sini sudah melebihi batas aman. Nikel dan besi terlarut ini bisa mengendap di tubuh manusia, merusak hati dan ginjal,” katanya dengan nada tegas.
“Ini bukan sekadar bencana alam, ini kegagalan pengawasan lingkungan.”
Wirda dan timnya kemudian membuat laporan ilmiah. Mereka mencatat:
- Kandungan nikel (Ni²⁺) mencapai 0,32 mg/L, melebihi ambang batas WHO (0,07 mg/L)
- Kandungan besi (Fe³⁺) mencapai 1,9 mg/L, jauh di atas batas 0,3 mg/L
- Indeks keasaman air turun menjadi pH 5,6, menandakan kontaminasi asam tambang (acid mine drainage)
Hasil itu dibawa ke Dinas Lingkungan Hidup dan media lokal. Ia juga mengorganisir warga, mengajari mereka cara mendokumentasikan kerusakan lingkungan dengan kamera ponsel, dan menulis laporan bersama.
“Kalian punya hak untuk menuntut pemulihan,” kata Wirda saat berdiri di depan warga.
“Sungai ini bukan milik perusahaan. Ini sumber hidup kalian.”
Ari bersama Wirda memimpin aksi damai di depan gerbang tambang. Mereka membentangkan spanduk besar bertuliskan:
“Kami tidak menolak tambang, kami menolak kerusakan.”
Tekanan publik membuat pemerintah pusat turun tangan. Kementerian Lingkungan Hidup mengirim tim audit AMDAL. Hasilnya, tambang di Sinabun terbukti melanggar prinsip good mining practice—tidak memiliki sediment pond, buffer vegetation, atau sistem pengelolaan air limbah.
Kini, aktivitas tambang di Sinabun berada di bawah pengawasan ketat. Kolam penampung sedimen dibangun, jalur air dialihkan, dan area tambang wajib direklamasi. Setiap minggu, DLH memeriksa kadar logam dan kondisi sungai.
Meski begitu, warga tahu pemulihan butuh waktu lama. Sawah masih gersang, air masih berbau besi. Tapi Ari dan Wirda tak menyerah. Mereka membentuk Komunitas Hijau Sinabun—gerakan kecil untuk menanam bambu dan pohon aren di sepanjang sungai, sebagai penahan erosi alami.
“Kalau akar-akar ini kuat, tanah bisa sembuh,” kata Wirda sambil menanam bibit bambu.
Ari tersenyum lemah, menatap langit sore yang mulai bersih.
“Rini pasti senang lihat ini dari sana,” katanya pelan.
Dan di antara suara serangga dan gemericik air yang mulai jernih, Desa Sinabun perlahan hidup kembali—bukan karena tambang, tapi karena perlawanan dan cinta pada tanah yang mereka jaga bersama.
Tamat
