
Oleh : Rastono Sumardi
Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan beberapa kebijakan terkait ekspor minyak sawit Indonesia di pasar global. Beliau menegaskan bahwa Indonesia tidak perlu khawatir terhadap tekanan dari Uni Eropa yang membatasi impor minyak sawit dengan alasan deforestasi. Prabowo melihat situasi ini sebagai peluang untuk meningkatkan penggunaan minyak sawit di dalam negeri, terutama dalam produksi biofuel, seperti biodiesel dan bioavtur.
Salah satu langkah yang direncanakan adalah meningkatkan mandatori pencampuran biodiesel dari 35% (B35) menjadi 40% (B40) pada Januari 2025, dengan target mencapai 50% (B50) di masa mendatang. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil dan memanfaatkan produksi minyak sawit domestik.
Namun, rencana ekspansi lahan sawit hingga 20 juta hektare menuai kritik dari berbagai pihak. Kebijakan ini dikhawatirkan akan mempercepat deforestasi, memperburuk konflik agraria, serta mengabaikan hak-hak buruh dan masyarakat adat. Selain itu, ekspansi ini berpotensi menghambat akses Indonesia ke pasar Uni Eropa yang menerapkan regulasi ketat terkait deforestasi.
Dalam upaya diplomasi, Indonesia berhasil memenangkan sengketa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) melawan Uni Eropa terkait diskriminasi terhadap produk minyak sawit. Kemenangan ini menunjukkan diplomasi Indonesia yang efektif dan menegaskan kedaulatan negara dalam mempertahankan komoditas unggulannya di pasar global.
Secara keseluruhan, kebijakan Presiden Prabowo berfokus pada peningkatan penggunaan minyak sawit di dalam negeri melalui pengembangan biofuel, sambil menghadapi tantangan dan kritik terkait dampak lingkungan dan sosial dari ekspansi lahan sawit
