Hari Santri Nasional: Dari Resolusi Jihad 1945 hingga Visi Peradaban Dunia 2025

Posted by : admin October 22, 2025

Oleh: Rastono Sumardi

Ketua Pergunu Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah

Peringatan Hari Santri Nasional setiap tanggal 22 Oktober bukanlah sekadar perayaan seremonial, melainkan sebuah penegasan kembali atas peran historis dan kontemporer kaum santri dalam denyut nadi kebangsaan Indonesia. Penetapannya sebagai hari besar nasional merupakan pengakuan negara atas kontribusi fundamental komunitas pesantren, yang puncaknya termanifestasi dalam Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Peristiwa ini tidak hanya menjadi titik balik dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga meletakkan fondasi bagi hubungan simbiosis yang kokoh antara keislaman dan keindonesiaan.

1. Akar Sejarah dan Fondasi Ideologis Hari Santri

1.1 Resolusi Jihad 22 Oktober 1945: Seruan Perang Suci untuk Kemerdekaan

Untuk memahami urgensi dan dampak luar biasa dari Resolusi Jihad, esensial untuk menempatkannya dalam konteks kritis pasca-Proklamasi Kemerdekaan. Pada September dan Oktober 1945, Republik Indonesia yang baru lahir berada dalam situasi yang sangat genting. Kedatangan pasukan Sekutu, yang diboncengi oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA), memicu kekhawatiran luas akan kembalinya penjajahan Belanda. Di tengah vakum kekuasaan dan keterbatasan aparat militer negara yang baru terbentuk, legitimasi dan kedaulatan republik berada di ujung tanduk.

Dalam situasi krisis inilah, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, selaku Rais Akbar (Pemimpin Tertinggi) Nahdlatul Ulama (NU), mengambil peran sentral. Beliau memanfaatkan jaringan komando organisasi yang solid dan pengaruh spiritualnya yang tak terbantahkan atas para kiai dan pesantren di seluruh Jawa dan Madura untuk mengonsolidasikan perlawanan rakyat. Pada 22 Oktober 1945, bertempat di kantor Hoofdbestuur NU di Kampung Bubutan, Surabaya, para ulama berkumpul dan mencetuskan sebuah fatwa monumental yang dikenal sebagai Resolusi Jihad.

Resolusi Jihad secara fundamental mengubah lanskap perjuangan. Fatwa tersebut menyatakan bahwa:

  1. Hukum membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah adalah kewajiban individual (fardhu ‘ain) bagi setiap Muslim yang berada dalam radius 94 kilometer dari pusat pertempuran.
  2. Bagi mereka yang berada di luar radius tersebut, kewajiban ini menjadi kewajiban kolektif (fardhu kifayah).

Dengan menetapkan perjuangan fisik melawan penjajah sebagai jihad fi sabilillah, KH. Hasyim Asy’ari memberikan “dasar moral” dan legitimasi keagamaan yang paling kuat bagi perlawanan bersenjata. Perjuangan yang semula bersifat politis dan militer ditransformasikan menjadi sebuah panggilan suci, sebuah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim.

Dampak langsung dari Resolusi Jihad terasa seketika. Seruan ini “membakar semangat” dan “menggerakkan umat Islam” secara masif. Ribuan santri, kiai, dan laskar rakyat bergerak menuju Surabaya, siap mati syahid demi mempertahankan kemerdekaan. Mobilisasi massa berbasis keagamaan inilah yang menjadi kekuatan utama rakyat Surabaya dalam menghadapi gempuran pasukan Sekutu. Puncak dari perlawanan heroik ini adalah Pertempuran 10 November 1945, yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan. Terdapat garis kausal yang tak terputus antara Resolusi Jihad 22 Oktober dan heroisme 10 November. Hari Santri, pada hakikatnya, adalah pengakuan resmi negara atas momen kodependensi fundamental ini, di mana kelangsungan hidup republik sangat bergantung pada kemitraan dengan para ulama dan institusi keagamaan.

1.2 Kontribusi Santri dan Pesantren dalam Sejarah Perjuangan Bangsa

Resolusi Jihad 1945 bukanlah sebuah anomali, melainkan kulminasi dari tradisi panjang perlawanan yang berakar di dunia pesantren. Jauh sebelum kemerdekaan, pesantren telah berfungsi sebagai episentrum perlawanan intelektual, kultural, dan fisik terhadap kolonialisme. Para ulama dan santri secara konsisten berada di garda depan dalam menentang penindasan.

Jejak perjuangan ini dapat dilacak kembali ke era Perang Jawa (1825-1830), di mana Pangeran Diponegoro memimpin perlawanan terbesar melawan Belanda. Galeri pahlawan nasional Indonesia diisi oleh banyak tokoh berlatar belakang santri, seperti KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Nama-nama lain seperti KH. Zainal Mustafa dari Tasikmalaya, KH. Noer Ali dari Bekasi, dan KH. Zainal Arifin yang memimpin laskar Hizbullah, semakin mempertegas peran sentral santri dalam perjuangan bersenjata.

Pesantren berfungsi sebagai benteng pertahanan ideologis, gigih mempertahankan identitas lokal dan nilai-nilai keislaman di tengah upaya westernisasi kolonial. Pesantren juga menjadi basis rekrutmen dan pelatihan bagi laskar-laskar perjuangan, termasuk laskar Pembela Tanah Air (PETA), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Dengan demikian, pesantren tidak hanya melahirkan intelektual dan ulama, tetapi juga prajurit dan patriot yang siap berkorban untuk bangsa.

2. Legitimasi Negara: Proses Penetapan Hari Santri Nasional

Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional adalah sebuah proses politik dan yuridis yang kompleks, merefleksikan pengakuan formal negara atas narasi sejarah yang selama ini hidup di kalangan komunitas pesantren.

2.1 Gagasan Awal dan Janji Politik

Gagasan untuk menetapkan hari khusus bagi santri telah muncul dari kalangan pesantren, dengan inisiator utamanya adalah KH. Thoriq Darwis, pengasuh Pondok Pesantren Babussalam di Malang. Momentum penentu terjadi pada 27 Juni 2014, saat Joko Widodo, yang kala itu merupakan calon presiden, mengunjungi Pesantren Babussalam dan menandatangani sebuah komitmen tertulis untuk memperjuangkan penetapan Hari Santri jika terpilih. Momen ini secara efektif mentransformasikan sebuah aspirasi komunal menjadi janji politik yang mengikat.

2.2 Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015: Analisis Yuridis dan Politis

Setelah terpilih, Presiden Joko Widodo menunaikan janjinya. Melalui serangkaian diskusi, tanggal peringatan bergeser dari usulan awal 1 Muharram ke 22 Oktober. Pada 15 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri.

Keppres ini secara eksplisit menyatakan pertimbangan utamanya, yaitu: pengakuan atas “peran besar” ulama dan santri pondok pesantren dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, serta penetapan tanggal 22 Oktober merujuk secara spesifik pada “ditetapkannya seruan resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober 1945”.

Keppres ini adalah kodifikasi narasi sejarah versi negara. Negara secara resmi mengakui dan mengkanonisasi Resolusi Jihad sebagai peristiwa kunci dalam sejarah perjuangan nasional. Keppres ini juga menegaskan bahwa Hari Santri “bukan merupakan hari libur”, yang menggarisbawahi fungsinya sebagai momen refleksi, peneladanan, dan penguatan karakter. Pemilihan tanggal 22 Oktober yang bersifat historis-nasionalis merupakan sebuah pilihan politik yang sangat signifikan, mengikat Hari Santri pada sejarah NU dan mempromosikan narasi Islam Nusantara—sebuah corak keislaman yang moderat, toleran, dan patriotik.

2.3 Dinamika dan Respons Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam

Proses penetapan Hari Santri tidak berjalan tanpa dinamika. Nahdlatul Ulama menjadi pendukung paling gigih. Di sisi lain, Muhammadiyah pada awalnya menunjukkan pandangan kritis, mengkhawatirkan potensi segmentasi umat antara santri dan non-santri, serta eksklusivitas sejarah yang hanya menonjolkan peran satu ormas.

Pemerintah kemudian memfasilitasi serangkaian dialog untuk membangun konsensus. Hasilnya, dari 13 ormas yang hadir dalam musyawarah, 12 di antaranya sepakat dan menandatangani usulan penetapan Hari Santri pada 22 Oktober. Proses ini menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam menavigasi medan politik antar-ormas yang kompleks dan mencapai kesepakatan yang dapat diterima secara luas.

3. Gema Perayaan Satu Dekade Hari Santri Nasional 2025

Peringatan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober 2025 menandai satu dekade sejak penetapannya. Perayaan tahun ini menunjukkan evolusi signifikan, dari sebuah hari untuk mengenang sejarah menjadi sebuah platform strategis untuk memproyeksikan visi masa depan santri dan pesantren.

3.1 Tema dan Filosofi: “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia”

Kementerian Agama menetapkan tema Hari Santri 2025: “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia”. Tema ini mengandung dua pilar makna: “Mengawal Indonesia Merdeka” yang menegaskan kembali peran historis santri sebagai penjaga ideologis bangsa, dan “Menuju Peradaban Dunia” yang merupakan sebuah “loncatan visi” ambisius, memposisikan santri sebagai aktor global yang siap berkontribusi aktif dalam membangun peradaban dunia.

Visi ini divisualisasikan secara kuat melalui logo resmi Hari Santri 2025 yang diberi nama “Pita Cakrawala” . Logo ini adalah “pernyataan sikap, doa, sekaligus arah peradaban”, di mana setiap elemennya sarat makna: Pita Warna-warni melambangkan keberagaman kontribusi dan kemajemukan bangsa; Gelombang Naik menyimbolkan perjalanan santri yang selalu tumbuh, adaptif, dan progresif; serta Enam Pita merepresentasikan enam kekuatan fundamental santri: Iman, Ilmu, Amal, Akhlak, Persatuan, dan Perjuangan.

 

 

3.2 Agenda Nasional Kementerian Agama: Institusionalisasi dan Apresiasi

Peringatan satu dekade Hari Santri 2025 diorganisir secara sangat terstruktur oleh Kementerian Agama, menunjukkan tingkat institusionalisasi yang tinggi. Salah satu kado istimewa pada peringatan tahun ini adalah persetujuan Presiden Prabowo Subianto untuk pembentukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren di lingkungan Kementerian Agama. Ini adalah sebuah langkah kebijakan monumental yang memberikan pesantren sebuah saluran birokrasi tingkat eselon I, yang diharapkan dapat mengakselerasi program-program pemberdayaan dan peningkatan mutu pesantren secara signifikan. Selain itu, program nyata seperti Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang dilaksanakan secara massal bagi santri menjadi bukti perhatian konkret pemerintah.

Rangkaian kegiatan utama yang diselenggarakan secara nasional meliputi:

  • Ithlaq Hari Santri pada 22 September 2025 di Pesantren Tebuireng, Jombang, sebagai peluncuran resmi tema dan logo.
  • Halaqah Astaloka pada 23 September 2025 sebagai forum ilmiah untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan strategis keagamaan.
  • Musabaqah Qiraatul Kutub (MQK) Internasional pada 1–7 Oktober 2025 di Pesantren As’adiyah, Wajo, Sulawesi Selatan, untuk mengangkat tradisi intelektual pesantren ke panggung dunia.
  • Gerakan Ekoteologi di Pesantren (September–Oktober 2025) yang mengusung program “Satu Santri Satu Pohon” untuk menanamkan tanggung jawab ekologis.
  • Expo Kemandirian Pesantren (2–22 Oktober 2025) sebagai pameran karya, inovasi, dan produk ekonomi pesantren.
  • Pesantren Award 2025 pada 20 Oktober 2025 di Jakarta, yang memberikan penghargaan bagi pesantren berprestasi dan meluncurkan program Beasiswa Santri Mendunia untuk mendorong daya saing global.
  • Doa Santri untuk Negeri pada 21 Oktober 2025, kegiatan doa bersama serentak di seluruh pesantren.
  • Malam Bakti Santri untuk Negeri pada 25 Oktober 2025 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, sebagai acara puncak perayaan yang dihadiri oleh Presiden RI.

Rangkaian kegiatan ini mengartikulasikan pesan kuat: Hari Santri 2025 adalah platform peluncuran kebijakan dan program strategis. Ini adalah momen di mana negara secara aktif berinvestasi dalam reposisi santri sebagai subjek pembangunan yang modern, kompeten, dan berwawasan global.

3.3 Spektrum Perayaan di Seluruh Nusantara: Dari Apel Khidmat hingga Pawai Kreatif

Gema perayaan Hari Santri 2025 terasa kuat di seluruh pelosok Indonesia, di mana setiap daerah menginterpretasikan tema nasional dengan kreativitas dan kekhasan lokal.

Di Pulau Jawa, ribuan santri mengikuti apel akbar dengan khidmat di Kota Tangerang dan Depok, sementara di Malang digelar Festival 1001 Terompah sebagai simbol kesederhanaan. Di Pulau Sumatera, Kabupaten Aceh Timur menggelar upacara meriah yang diikuti oleh sekitar 2.000 santri dari 30 dayah. Di Pulau Sulawesi, Stadion Parasamya Majene dipadati oleh ribuan santri, ASN, dan masyarakat umum, menunjukkan bahwa Hari Santri telah menjadi momen kebanggaan komunal. Di Pulau Kalimantan, apel peringatan di Kabupaten Seruyan dan Kutai Timur dipimpin langsung oleh pimpinan daerah, menekankan peran santri dalam pembangunan daerah.

Dari berbagai laporan daerah, terlihat pola kegiatan umum, seperti: upacara bendera formal yang menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Ya Lal Wathan (menegaskan nasionalisme), pawai budaya, lomba baca kitab kuning (merawat tradisi), bakti sosial (pengabdian masyarakat), serta zikir dan doa bersama (dimensi spiritual). Keragaman ini menunjukkan bahwa Hari Santri telah berhasil menjadi milik seluruh bangsa, dirayakan dengan cara yang relevan dengan konteks lokal masing-masing.

4. Refleksi dan Proyeksi: Makna Hari Santri bagi Indonesia Kontemporer

Peringatan Hari Santri Nasional telah melampaui fungsinya sebagai penanda sejarah. Ia telah menjadi sebuah momentum tahunan bagi bangsa Indonesia untuk merefleksikan kembali peran strategis komunitas pesantren, sekaligus memproyeksikan kontribusi mereka di masa depan.

4.1 Jihad Kontekstual: Transformasi dari Bambu Runcing ke Pena dan Teknologi

Salah satu proyek intelektual terpenting yang diusung oleh semangat Hari Santri adalah kontekstualisasi makna “jihad”. Jika Resolusi Jihad 1945 adalah seruan untuk jihad asghar (perang fisik), maka jihad santri di era kontemporer adalah perwujudan dari jihad akbar (perjuangan melawan hawa nafsu dan kekurangan diri).

Transformasi makna ini sangat eksplisit. Jihad tidak lagi dimaknai sebagai pertempuran dengan bambu runcing, melainkan perjuangan melawan kebodohan, kemiskinan, kemalasan, dan ketidakadilan. Senjatanya telah berganti menjadi “pena, ilmu, dan akhlak”. Santri masa kini berjihad dengan Jihad Intelektual (menuntut ilmu) dan Jihad Moral (menjaga integritas dan kejujuran), serta memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat melalui inovasi.

Dalam konteks ini, santri dan pesantren diposisikan sebagai benteng utama wasathiyyah Islam (Islam moderat) di Indonesia. Dengan memegang teguh nilai-nilai luhur seperti tawadhu’, toleransi, disiplin, dan cinta tanah air (hubbul wathon minal iman), komunitas santri menjadi garda terdepan dalam melawan arus radikalisme dan intoleransi. Mereka diajarkan untuk merawat tiga pilar persaudaraan: ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah. Dengan demikian, jihad kontekstual santri adalah perjuangan untuk merawat harmoni dan keutuhan bangsa.

4.2 Santri sebagai Pilar Peradaban: Tantangan dan Peluang di Era Digital

Tema Hari Santri 2025, “Menuju Peradaban Dunia”, bukanlah slogan kosong, melainkan sebuah cetak biru strategis. Visi ini menuntut santri dan pesantren untuk tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produsen ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menjadi teladan moral di panggung global.

Untuk menjawab tantangan ini, dunia pesantren kini tengah mengalami transformasi signifikan. Banyak pesantren modern yang berhasil memadukan kurikulum salaf (tradisional) yang kaya akan ilmu-ilmu keislaman klasik dengan kurikulum modern yang mencakup sains, teknologi, dan literasi digital. Tujuannya adalah melahirkan generasi santri yang memiliki kedalaman spiritual dan keluasan intelektual, yang mampu berdialog dengan zaman tanpa kehilangan akar tradisinya.

Namun, tantangan besar masih menghadang, seperti disparitas kualitas antar-pesantren, kesenjangan akses terhadap teknologi dan informasi, serta kebutuhan untuk terus memperbarui kurikulum agar relevan dengan tuntutan pasar kerja global. Ke depan, Hari Santri Nasional akan terus berfungsi sebagai katalisator untuk transformasi ini. Ia menjadi momen evaluasi tahunan, panggung apresiasi, dan sumber inspirasi bagi seluruh komunitas santri untuk terus berbenah. Dengan semangat Resolusi Jihad yang telah dikontekstualisasikan, para santri diharapkan tidak hanya menjadi penjaga warisan masa lalu, tetapi juga arsitek masa depan peradaban Indonesia dan dunia—sebuah peradaban yang berlandaskan pada ilmu, akhlak, dan perdamaian. (*)

RELATED POSTS
FOLLOW US