
(Inspirasi Untuk Indonesia)
Oleh: Rastono Sumardi, S.Pd, ME *
Kepemimpinan di era modern tidak lagi hanya ditentukan oleh kekuatan administratif dan kebijakan teknokratis semata, melainkan juga oleh kekuatan narasi, kedekatan dengan rakyat, dan kepekaan terhadap identitas budaya. Dalam konteks ini, figur Kang Dedi Mulyadi menjadi menarik untuk dikaji sebagai sosok pemimpin yang memadukan kekuatan budaya lokal, populisme positif, dan kemampuan komunikasi digital. Gubernur Jawa Barat ini, memiliki gaya kepemimpinan yang membawa warna baru dalam wajah pemerintahan provinsi jawa barat. Tak ada salahnya jika kita membuat analisis gaya kepemimpinannya sebagai inspirasi model kepemimpinan dalam pemerintahan.
Budaya (Sunda) Sebagai Fondasi Kepemimpinan
Salah satu ciri paling khas dari Kang Dedi adalah komitmennya terhadap pelestarian dan penguatan budaya Sunda. Sejak menjabat sebagai Bupati Purwakarta, ia menjadikan simbol dan nilai-nilai budaya lokal sebagai identitas dalam pembangunan. Ini terlihat dari penataan ruang publik berarsitektur Sunda, penguatan kurikulum lokal di sekolah, hingga promosi adat istiadat sebagai bagian dari tata kelola sosial masyarakat.
Sebagai Gubernur, Kang Dedi diyakini akan memperluas pendekatan ini. Budaya tidak lagi menjadi aksesori, tetapi menjadi alat transformasi sosial, ekonomi, bahkan politik. Jawa Barat akan diarahkan menjadi provinsi yang tidak sekadar maju secara fisik, tapi juga berakar kuat pada jati diri kebudayaannya.
Kepemimpinan Merakyat dan Populis-Emosional
Salah satu kekuatan utama Kang Dedi adalah kemampuan membangun kedekatan emosional dengan masyarakat, terutama kalangan bawah. Gaya “blusukan” ala Jokowi, yang juga ia praktikkan, membuatnya terasa dekat dan peduli. Ia kerap turun langsung ke kampung, pasar, hingga pinggiran kota, menemui warga yang membutuhkan bantuan atau sekadar mendengar keluhan mereka.
Di era media sosial, pendekatan ini diperkuat dengan strategi komunikasi publik yang sangat efektif. Kanal YouTube dan platform digital lainnya dimanfaatkan untuk mengangkat suara rakyat kecil, menyelesaikan persoalan nyata, dan memberikan edukasi dengan bahasa sederhana.
Gaya ini menjadikannya pemimpin yang dicintai oleh banyak kalangan, karena hadir bukan hanya sebagai pejabat, tetapi juga sebagai “ayah masyarakat” yang mendengar dan bertindak.
Pemimpin Naratif dan Visioner
Kang Dedi juga dikenal sebagai pemimpin yang naratif. Ia tidak hanya berbicara soal angka atau target pembangunan, tapi juga menyampaikan makna, cerita, dan filosofi hidup. Dalam setiap kebijakan, ia mampu membingkai pesan melalui kisah-kisah reflektif dan kearifan lokal yang menyentuh batin rakyat.
Kekuatan narasi ini sangat penting dalam membangun visi jangka panjang. Sebab, masyarakat tidak hanya butuh tahu apa yang akan dibangun, tapi juga mengapa dan untuk siapa hal itu dilakukan.
Digitalisasi dan Transparansi Pemerintahan
Meski mengusung nilai-nilai tradisi, Kang Dedi bukanlah sosok yang anti-modern. Justru ia sangat melek digital dan aktif dalam membangun transparansi melalui media sosial. Kepemimpinan di era digital menuntut kecepatan, keterbukaan, dan akuntabilitas — hal-hal yang sudah mulai ia bangun sejak di Purwakarta dan terus dikembangkan di panggung provinsi dan nasional.
Sebagai Gubernur Jawa Barat, bukan hal yang mustahil bila sistem birokrasi akan lebih terbuka, layanan publik lebih terjangkau secara online, dan masyarakat diberdayakan lewat kanal digital.
Tantangan dan Keseimbangan
Meski memiliki banyak kelebihan, gaya kepemimpinan Kang Dedi tidak lepas dari tantangan. Gaya populis dan pendekatan personal kadang dianggap kurang sistemik dan bisa mengabaikan pendekatan teknokratik yang dibutuhkan di tingkat provinsi. Selain itu, keberhasilan kepemimpinan bukan hanya soal figur, tapi juga soal membangun sistem dan institusi yang kuat.
Ia harus bisa menjaga keseimbangan antara karisma personal dan tata kelola pemerintahan yang profesional. Tanpa itu, kepemimpinannya bisa terjebak dalam romantisme massa tanpa dampak struktural yang berkelanjutan.
Kesimpulan
Gaya kepemimpinan Kang Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat bisa menjadi perpaduan unik antara nilai budaya, pendekatan populis, dan transformasi digital. Ia adalah simbol pemimpin yang tidak hanya mengatur, tetapi juga mengayomi, mendidik, dan menginspirasi.
Jika gaya ini mampu diimbangi dengan manajemen birokrasi yang solid, maka ia tidak hanya akan menjadi pemimpin yang dicintai, tetapi juga pemimpin yang mengubah arah Jawa Barat menjadi provinsi yang berbudaya, maju, dan berpihak pada rakyat kecil.
*). Penulis adalah Sekretaris Dinas Komonikasi Informatika Statistik dan Persandian Kabupaten Banggai, Koordinator Satupena Sulawesi Tengah, Ketua Bonuasastra Banggai,
