MUNGKINKAH PSU DI ATAS PSU PADA PILKADA BANGGAI ?

Posted by : admin April 12, 2025

Oleh: Rastono Sumardi *

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 171/PHPU.BUP-VIII/2024 terkait hasil pemilihan Bupati Banggai telah memerintahkan dilakukannya Pemungutan Suara Ulang (PSU) di dua kecamatan, yaitu Toili dan Simpang Raya. Putusan ini telah dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Banggai pada 5 April 2025. Namun, polemik bermunculan di tengah publik terkait kemungkinan adanya PSU lanjutan atau “PSU di atas PSU”. Banyak yang berpendapat bahwa setelah putusan MK dilaksanakan, maka seluruh proses telah selesai secara hukum. Pandangan ini perlu diluruskan agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam memahami sistem hukum kita, khususnya pada ruang lingkup kewenangan MK, KPU, dan Bawaslu.

  1. Finalitas Putusan MK Bukan Akhir Segalanya

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa MK memutus perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah pada tingkat pertama dan terakhir, dan putusannya bersifat final dan mengikat. Artinya, tidak ada upaya hukum lain terhadap putusan tersebut di MK. Namun, ini tidak berarti bahwa pelaksanaan PSU itu sendiri tidak bisa dipersoalkan apabila terjadi pelanggaran baru dalam proses pelaksanaan PSU itu sendiri.

Sebagai contoh, apabila dalam pelaksanaan PSU terjadi pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), atau adanya manipulasi administratif yang terbukti mengubah hasil pemilu, maka mekanisme pemulihan dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang lain — bukan melalui MK, tetapi melalui rekomendasi Bawaslu atau tindakan administratif oleh KPU.

  1. PSU Dapat Diulang, Tapi Bukan Karena MK Lagi

Regulasi yang mengatur kemungkinan PSU ulang setelah PSU sebelumnya bukan berada dalam kewenangan MK, melainkan diatur dalam UU Pemilu dan Peraturan KPU.

  • Pasal 112 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan bahwa PSU dapat dilakukan ulang jika terdapat gangguan keamanan, bencana alam, atau pelanggaran yang mengakibatkan hasil tidak valid.
  • Pasal 101 dan 102 UU No. 7 Tahun 2017 juga menegaskan bahwa Bawaslu dapat merekomendasikan PSU kepada KPU jika ditemukan pelanggaran pemilu yang berdampak signifikan terhadap hasil.
  • Peraturan KPU (PKPU) No. 19 Tahun 2020 tentang Rekapitulasi Hasil dan Penetapan Hasil Pemilihan juga membuka ruang PSU ulang apabila hasil PSU pertama dianggap tidak sah karena pelanggaran.

Oleh karena itu, istilah “PSU di atas PSU” memang tidak dikenal secara eksplisit dalam peraturan, namun kemungkinan terjadinya PSU kembali tetap terbuka secara hukum, selama tidak didasarkan pada perkara yang sama dan putusan MK yang sudah final.

  1. Peran Bawaslu Sangat Penting Setelah Putusan MK

Setelah MK memutus dan KPU menjalankan PSU, proses demokrasi tidak berhenti. Pengawasan oleh Bawaslu menjadi krusial. Jika ada temuan pelanggaran dalam pelaksanaan PSU, maka Bawaslu memiliki wewenang memberikan rekomendasi kepada KPU untuk melakukan tindakan perbaikan, termasuk PSU ulang bila diperlukan.

Praktik ini pernah terjadi di beberapa daerah. Misalnya, di Kabupaten Yalimo (Papua Pegunungan) dan Yalimo (Papua) pada 2020 dan 2021, di mana terjadi PSU ulang tanpa dasar putusan MK, melainkan karena gangguan keamanan dan kehilangan dokumen pemilu.

  1. Prinsip Lex Specialis dan Pemulihan Hak Pilih

Hukum pemilu menganut asas lex specialis terhadap proses pemulihan hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu, apabila PSU hasil putusan MK justru menimbulkan pelanggaran baru atau mencederai proses demokrasi, maka negara tidak boleh tinggal diam hanya karena putusan MK sudah final.

Pemilu bukan hanya soal prosedur, tetapi soal substansi kedaulatan rakyat. Jika dalam PSU hasil putusan MK terjadi kecurangan besar yang terbukti, maka pelaksana teknis pemilu (KPU) tetap bisa dan harus mengambil langkah hukum administratif untuk menjaga legitimasi hasil pemilu.

Kesimpulan

Pernyataan bahwa “tidak ada PSU di atas PSU” adalah sebuah reduksi berlebihan terhadap hukum pemilu, dan berpotensi menyesatkan publik. Yang benar adalah, putusan MK memang final, tetapi PSU sebagai proses teknis tetap bisa dievaluasi kembali bila terdapat pelanggaran hukum baru dalam pelaksanaannya.

Kita harus menempatkan hukum pada tempatnya: putusan MK adalah otoritas tertinggi dalam perselisihan hasil pemilihan, namun KPU dan Bawaslu tetap memiliki tanggung jawab terhadap keabsahan proses teknis pelaksanaan pemilu pasca putusan MK, termasuk PSU.

Demokrasi tidak boleh dikunci hanya oleh satu institusi. Ia hidup dari mekanisme kontrol dan pemulihan yang adil dan sah menurut hukum.

 

* Penulis adalah Koordinator Satupena Sulawesin Tengah,  Wakil Sekretaris PC NU Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah.

RELATED POSTS
FOLLOW US