
Oleh : Rastono Sumardi
Abstrak
Ambisi merupakan elemen penting dalam kepemimpinan. Namun, ketika ambisi melampaui batas etis dan rasionalitas, hal ini dapat menjadi ancaman nyata terhadap demokrasi dan stabilitas sosial. Artikel ini mengkaji dampak negatif dari ambisi berlebihan seorang calon pemimpin terhadap proses demokrasi dan tatanan sosial, menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi literatur dan analisis kasus-kasus kontemporer. Hasil kajian menunjukkan bahwa ambisi yang tidak terkendali seringkali melahirkan tindakan manipulatif, otoritarianisme tersembunyi, polarisasi sosial, dan pembusukan institusi demokratis.
1. Pendahuluan
Kepemimpinan dalam sistem demokrasi mensyaratkan integritas, visi, dan tanggung jawab sosial. Calon pemimpin yang memiliki ambisi dianggap sebagai individu yang siap membawa perubahan dan membangun bangsa. Namun, terdapat perbedaan krusial antara ambisi sehat dan ambisi berlebihan. Ambisi yang berlebihan sering kali mengarah pada perilaku tidak etis, kecenderungan manipulatif, serta eksploitasi terhadap sistem dan rakyat demi kepentingan pribadi. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana ambisi yang melampaui batas dapat membahayakan demokrasi dan merusak tatanan sosial masyarakat.
2. Ambisi dalam Kepemimpinan: Antara Motivasi dan Ancaman
Ambisi merupakan dorongan psikologis untuk mencapai tujuan. Dalam kepemimpinan, ambisi berperan mendorong seseorang menjadi agen perubahan. Namun, saat ambisi berubah menjadi hasrat kekuasaan yang tak terkendali, ia berpotensi menjadi racun. Calon pemimpin dengan ambisi berlebihan cenderung menggunakan segala cara untuk meraih kekuasaan, termasuk menyebar disinformasi, membeli dukungan, bahkan melemahkan lembaga-lembaga demokrasi yang menghalangi jalannya.
—
3. Dampak Negatif Ambisi Berlebihan terhadap Demokrasi
a. Manipulasi Demokrasi
Ambisi berlebihan mendorong calon pemimpin menghalalkan segala cara untuk menang, termasuk manipulasi opini publik, politik identitas, dan pelanggaran etika kampanye. Demokrasi menjadi ajang pertarungan kekuasaan, bukan lagi forum rasional untuk memilih pemimpin berdasarkan ide dan visi.
b. Erosi Lembaga Demokratis
Pemimpin yang terobsesi pada kekuasaan cenderung melemahkan institusi-institusi demokratis seperti lembaga legislatif, yudikatif, dan media. Mereka mengganti prinsip check and balance dengan loyalitas pribadi, menyebabkan demokrasi kehilangan roh dan fungsinya.
c. Populisme dan Otoritarianisme Tersembunyi
Ambisi yang tidak sehat sering memunculkan pemimpin populis yang menggunakan narasi emosional untuk menarik massa. Dalam jangka panjang, banyak pemimpin semacam ini menjadi otoriter dengan membungkus kekuasaan absolut dalam kemasan “kehendak rakyat”.
4. Pengaruh terhadap Tatanan Sosial
a. Polarisasi Masyarakat
Ambisi yang tidak sehat sering kali mendorong eksploitasi perbedaan identitas (agama, suku, kelas sosial) untuk memperkuat basis dukungan. Ini menciptakan masyarakat yang terbelah, penuh curiga, dan sulit bersatu kembali pasca pemilu.
b. Konflik Sosial dan Disintegrasi
Retorika agresif dan kampanye berbasis kebencian yang dilakukan oleh pemimpin ambisius memperbesar potensi konflik horizontal. Tatanan sosial yang damai dan toleran berubah menjadi arena ketegangan dan kekerasan.
c. Ketimpangan dan Ketidakadilan
Pemimpin yang terobsesi pada kekuasaan cenderung mengabaikan kepentingan publik dan hanya menguntungkan kelompok elit yang mendukungnya. Ketimpangan dan ketidakadilan sosial pun semakin melebar.
—
5. Studi Kasus dan Realita Kontemporer
Beberapa negara demokrasi yang terjerumus dalam krisis akibat pemimpin dengan ambisi berlebihan dapat menjadi pelajaran berharga. Misalnya, Venezuela di bawah Hugo Chávez, Filipina di masa Rodrigo Duterte, hingga contoh populisme di negara-negara Eropa Timur. Meski diawali oleh keinginan memperjuangkan rakyat, ambisi yang tidak terkendali pada akhirnya merusak demokrasi dan menciptakan disfungsi sosial.
6. Pencegahan dan Solusi
Untuk mencegah dampak buruk ambisi berlebihan calon pemimpin, beberapa strategi dapat dilakukan:
– Pendidikan politik warganagar masyarakat tidak mudah terpancing retorika dangkal.
– Transparansi dan akuntabilitas proses politik, termasuk pembatasan dana kampanye.
– Penguatan lembaga pengawas demokrasi, seperti KPU, Bawaslu, dan Ombudsman.
– Kepemimpinan kolektif dan pengembangan partai politik yang demokratis dari akar rumput.
7. Kesimpulan
Ambisi adalah unsur penting dalam kepemimpinan, tetapi ambisi yang berlebihan justru dapat merusak demokrasi dan tatanan sosial. Calon pemimpin yang tak lagi menjadikan rakyat sebagai tujuan utama, melainkan kekuasaan itu sendiri, cenderung membahayakan sistem yang seharusnya menjamin kebebasan dan keadilan. Oleh karena itu, demokrasi yang sehat memerlukan pengawasan, partisipasi aktif masyarakat, serta etika politik yang kuat dari para calon pemimpin.
