Nusantara26.com – Malam itu aku sangat merasakan rindu pada Ibuku, sementara aku tinggal di rumah keluarga Mangantjo di Bunta, pusat kecamatanku. Saat itu aku masih duduk di kelas 1 SMA. Keinginanku untuk pulang ke rumah untuk bertemu Ibu tak terbendung lagi.
Jam sudah menunjukan pukul 22.00 wita. Aku meminjam sepeda milik teman sekolahku yang bernama Budi Lamato. Untuk menuju kampungku, harus melewati hutan-hutan dan jalan bergunung-gunung. Pasti aku harus mendorong sepedaku pada saat pendakian nanti. Sementara malam itu sangat gelap dan sepeda juga tak ada lampu, aku hanya bisa melihat jalan yang tampak samar-samar.
Selain kawasan yang sepi dan jauh dari pemukiman warga, ada suatu tempat yang banyak disebut orang angker yaitu Telaga Ular di desa Ulos yang harus aku lewat nanti. Disebut Telaga Ular karena bentuk telaga itu bentuknya seperti ular, dan banyak orang bercerita tentang keangkeran telaga itu yang membuat aku merasa takut lewat di daerah itu apalagi di malam hari, sendirian dan gelap gulita.
Dengan membawa rasa rindu pada Ibu, malam itu aku nekat pulang dengan sepeda pinjaman. Tanjakan dan turunan satu demi satu aku taklukan dengan baik. Melintasi kawasan hutan yang gelap memberi kesan mencekam. Aku terus berusaha menekan rasa takut yang menghantui perasaanku, sambil terus mengontel sepedaku dengan cepat, nafas pun tersengal dan detak jantung berdenyut cepat.
Setelah satu jam perjalanan, aku sudah di dekat kawasan Telaga Ulos yang aku takuti itu. Merinding seluruh bulu kuduku saat melintas dipinggiran Telaga Ulos itu. Aku terus berkosentrasi untuk mengontel sepedaku dan terus berdoa dengan harapan bisa melintas lebih cepat di Telaga Ulos yang angker itu.
Tepat saat melintas di pinggiran Telaga Ulos itu tiba-tiba rantai sepedaku terlepas dan bola sepeda tak bisa berputar terlilit rantai serta mengeluarkan berbunyi keras kraaaakkk. Dengan rasa takut yang sangat memunjak, aku turun dari sepedaku. Dalam suasana gelap, tanganku terus meraba rantai yang terjepit, sambil sesekali menatap ke arah Telaga Ulos itu yang masih membisu menyimpan misterinya.
Beberapa kali gagal memasang rantai sepeda dengan tepat, dengan mengandalkan insting, aku memasang kembali rantai sepeda yang terlepas dan terjepit keras, sehingga aku menarik sekuat mungkin untuk melepaskannya. Aku butuh beberapa menit untuk memperbaiki rantai yang terlepas itu karena tidak mudah memasangnya dalam keadaan gelap.
Jantungku berdetak semakin cepat, sampai akhirnya rantai sepeda dapat terpasang dengan benar. Aku segera mengontelnya kembali sekuat mungkin seperti orang kesurupan. Sementara jalan menurun di pinggiran Telaga Ulos, sehingga sepedaku meluncur cepat dan selanjutnya di depannya ada tanjakan yang tinggi.
Biasanya aku tak mampu mengontel sampai ke puncak di pendakian itu, tapi malam karena rasa takut yang sudah di ubun-ubun maka tanjangan yang setinggi itu dapat aku daki dengan sepedaku.
Aku terus mengontel sepedaku dengan sepenuh tenaga untuk menaklukan satu bukit lagi karena sudah seperti kesetanan maka aku taklukan dengan mudah. Dengan nafas tersengal-sengal keringatpun terkucur deras meskipun suhu malam itu sangat dingin.
Akhirnya pukul 23.30 Wita aku sampai dengan selamat di desaku yang sudah sepi dan gelap. Orang-orang desa sudah terlelap dalam tidurnya dan asyik bermimpi. Setibanya di rumah, aku segera mengetuk pintu rumah dan memangil Ibu.
“Biyung! Biyung! Biyung! Aku datang, tolong cepat buka pintu,” Aku memangil ibu dengan suara keras sambil mengetuk-ketuk pintu rumah. Biyung segera terbangun dengan kaget dan membukakan pintu untukku.
“Ya Allah, kenapa kamu pulang sudah malam begini? sendirian lagi,” tanya Ibu dengan rasa heran.
“Aku rindu, Biyung” jawabku sambil menciup tangannya aku masuk ke dalam rumah yang hanya diterangi lampu botol.
“Ya, sudah, kalau mau makan kebetulan Biyung masak sayur kangkung kesukaanmu, ayo ke dapur!” Biyung mengajakku dan menemaniku makan dengan penuh kasih sayang yang tulus.
Penulis : Rastono Sumardi
Catatan :
Biyung = Ibu dalam bahasa banyumasan.