Resensi Film : Tuhan, Izinkan Aku Berdosa (TIAB)

Posted by : admin May 18, 2024

Resensi Film

Izinkan Aku Berdosa (TIAB)

(PEMBERONTAKAN KIRAN MENANTANG TUHAN)

Akmal Nasery Basral*

1/
Jum’at malam (17/3) saya menghadiri gala premiere film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa (TIAB) karya terbaru Sutradara Hanung Bramantyo. “Ini film personal yang sejak lama ingin saya buat,” katanya kepada penonton sebelum pemutaran dimulai. “Tetapi keinginan itu baru menguat saat pandemi ketika selama dua tahun tak ada produksi film. Bahkan rumah-rumah ibadah semua agama kosong melompong, termasuk Masjidil Haram yang biasanya setiap hari penuh jamaah umroh.”

Film ini merupakan adaptasi dari novel berjudul Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur (2003) karya Muhidin M. Dahlan, penulis kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah, sebelum pindah ke Yogyakarta untuk kuliah di IKIP Yogyakarta (Teknik Bangunan) dan UIN Sunan Kalijaga (Sejarah Peradaban Islam), meski kedua jurusan itu tak selesai dijalaninya. “Ini memoar luka seorang muslimah yang cukup dikenal di Yogya pada awal tahun 2000-an,” ujarnya menyambung Hanung. Dengan kata lain: berdasarkan kisah nyata meski sebagai sebuah feature film dramatisasi di sana-sini tak bisa dihindari.

Bagi saya, gala premiere semalam merupakan kedua kalinya menonton film ini setelah sebelumnya diputar pada Festival Jakarta Film Week 2023 bulan Oktober lalu di CGV Grand Indonesia. Setelah itu TIAB diputar sejumlah festival film lainnya, sebelum mendapatkan jadwal tayang bioskop XXI mulai Kamis, 22 Mei 2024, pekan depan.

Beberapa tokoh nasional yang hadir pada gala premiere, antara lain, Todung Mulya Lubis, Hariman Siregar, Setiawan Djody, jurnalis kawakan Bambang Harymurti dan Direktur Penerbit Balai Pustaka-penulis pantun Achmad Fachrodji. Sedangkan dari kalangan sineas senior dan tokoh hiburan ada Deddy Mizwar, Christine Hakim, Niniek L. Karim, Marcella Zalianty, Mi’ing Bagito, dan lainnya.

2/
TIAB berpusat pada kehidupan Nidah Kirani, seorang santriwati cerdas dengan pemikiran kritis (diperankan oleh Aghniny Haque). Kedua orang tuanya yang rakyat jelata mengirimkan Kiran ke pesantren pimpinan seorang ustaz karismatis, yang ternyata punya hasrat memperistri Kiran sebagai istri ketiga. Kiran menolak. Dari sini kisah berkembang menjadi “Kiran vs the rest of the world ” dengan para santriwan-santriwati, ustaz-ustazah, mulai menjaga jarak dengannya. Tak jarang menyindirnya dengan telak ketika Kiran mendekat. Hanya seorang santri bernama Daarul (Andri Mashadi) yang masih mau berteman dengannya. Ternyata, Daarul memiliki agenda tersendiri yang membuat kepercayaan Kiran hancur lebur.

Hidup Kiran semakin rumit ketika seorang dosen bernama Tomo (Donny Damara) yang awalnya dia kagumi, secara cerdik dan licik mengubah kepatutan hubungan dosen – mahasiswi di antara mereka berdua menjadi pola dominasi-subordinasi patron-klien dalam kubangan hasrat dan syahwat.

Menghadapi puntiran nasib yang kian menjungkalkannya ke jurang tajam kehidupan, Kiran memproklamirkan perlawanan terbuka kepada Tuhan. Dia lakukan pemberontakan dengan mengandalkan tubuh permai dan wajah moleknya untuk membongkar topeng-topeng yang dipakai tokoh hipokrit termasuk pejabat dan politikus yang sedang berkontestasi sengit di sebuah pilkada.

Untuk menjalankan itu, Kiran mengandalkan perlindungan dari seorang perempuan paruh baya bernama Ami (Djenar Maesa Ayu), seorang induk semang di remang-remang.

Alih-alih menemukan jawaban dari semua pemberontakannya, Kiran semakin lunglai terisap pusaran gelombang kehidupan yang membuat nyawanya terancam berulang kali, bahkan sampai penyiksaan fisik tingkat tinggi antara hidup dan mati. Setiap kali itu pula Kiran menyemburkan cemooh kepada Sang Maha Pencipta. “Hanya ini saja yang bisa Kau lakukan padaku, Tuhan?” keluhnya separuh menggerutu separuh menantang tanpa jemu.

Di puncak kemarahan atas takdir hidupnya yang tak kunjung membaik, Kiran mendaki puncak bukit ketika alam sedang mengamuk menyemburkan murka badai dan rangkaian lecutan petir. Namun santriwati depresi itu masih juga selamat dalam penjagaan-Nya yang maha. Ini membuat Kiran mengubah strategi pembangkangan dengan membongkar standar ganda politisi yang memanfaatkannya agar diketahui publik melalui sebuah pengungkapan yang beresiko tinggi dan kembali menempatkannya nyawanya di ujung hidup dan mati.

3/
Dengan alur kisah seperti itu dan reputasi Muhidin M. Dahlan sang novelis dan Hanung Bramantyo yang cukup sering menyentuh tema-tema sensitif dan kontroversial dalam wilayah keberagaman (khususnya keislaman), tak pelak TIAB menjadi film dengan eksplosifitas tinggi yang potensial menyulut emosi publik. Terutama bagi yang tidak memirsa sampai akhir secara utuh.

Sebab itu, Hanung dan MVP Pictures yang memproduksi film ini, mengantisipasi dengan menempatkan takrif ( disclaimer) penting dan relevan di awal film. Peringatan Keras: Film ini berisikan konten sensitif yang akan membuat penonton merasa tersinggung dan terganggu.

Sepanjang kisah bergulir, penonton dibombardir dialog dan visualisasi yang (mungkin) tidak nyaman bagi mereka yang terbiasa berpikir struktural fungsional toto tentrem kerto raharjo atau belenggu taklid yang menyumbat nalar sehat. Penonton seperti ini–yang tidak sabar–bisa meninggalkan bioskop dengan hati mendidih sembari memberondongkan sumpah serapah kepada Hanung dan Muhidin (mungkin juga kepada Raam Punjabi pemilik MPV Pictures).

Sementara bagi penonton yang bersabar menunda penilaian sampai film usai, mereka akan temukan adegan eksplanatif penting dan menenteramkan di ujung film melalui dialog Kiran dengan seorang tokoh sampingan (bukan tokoh utama dalam struktur cerita namun sangat penting dalam hidup dan pemikiran Kiran).

Saya menduga adegan one scene explains all ini semacam refleksi dari fragmen kehidupan Hanung sendiri yang menyuarakan kegelisahan spiritualitasnya dalam melihat karut marut ekspresi sebagian umat beragama. Hal yang pernah disajikannya dalam film Perempuan Berkalung Sorban (2009) dan ? (2011) yang juga menyisakan jejak kontroversi pekat di masyarakat menyusul penayangan kedua film tersebut.

TIAB menjadi semacam pengunci tak resmi dari ‘Trilogi Histeria Beragama’–dalam pemaknaan Hanung sebagai auteur–yang berfaidah sosiologis dalam memahami wajah masyarakat Indonesia kontemporer yang tak selalu seindah harapan.

Dalam konteks ini, penonton bisa memutuskan apakah akan mendukung, atau berseberangan dengan, cara pandang Hanung yang membawa mereka menyelinap masuk ke bawah permukaan fenomena sosial dan menyodorkan cermin realitas yang menunjukkan tuah ungkapan lama ‘buruk muka cermin dibelah’.

4/
Bagi saya, TIAB beresonansi pada dimensi personal lainnya. Anak kedua saya, Aurora Zaslin, adalah salah seorang asisten sutradara (astrada) film yang berdentam-dentam ini.

Aurora mahasiswa semester terakhir (8) Jurusan Penyutradaraan Institut Kesenian Jakarta. Ketika sedang menjalani semester 6–selama sekitar tiga bulan tahun lalu (April – Juni 2023)–Aurora mendapat kesempatan magang di Dapur Films, rumah produksi milik Hanung, tepat ketika TIAB mulai dimatangkan konsepnya. Sehingga dia mendapat kesempatan mengikuti tahap-tahap pra-produksi di Jakarta (dari casting pemain sampai reading naskah) dan tahap produksi (syuting di Jogjakarta dan Pegunungan Dieng, Wonosobo). Sebuah proses penggemblengan dan penempaan pengalaman yang menjadi kawah candradimuka baginya.

Sehingga bagi saya–dan kami sekeluarga–judul film ini juga bisa dimaknai sebagai “Tuhan, Izinkan Aku Berdoa”, yakni agar film ini menjadi langkah awal anak kami dalam menapaki dunia film nasional dan internasional yang kian kompetitif. Sebagai sineas masa depan yang menjadi jalan pengabdian Aurora kepada Tuhan Maha Pengarah Jalan Yang Maha Rahim dan Maha Rahman.

*Penulis adalah penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 untuk kategori Sastrawan/Budayawan Nasional dari Universitas Andalas, Sumatra Barat

RELATED POSTS
FOLLOW US