Kewajiban Suami Istri Tanpa Syarat: Makna dan Konsekuensinya dalam Rumah Tangga.

Posted by : admin May 22, 2025

Oleh: Hi Irpan, S.Ag, M.H, Penghulu Ahli Madya Kemenag Kotamobagu.

Dalam ikatan pernikahan yang sah menurut syariat Islam, terdapat sejumlah kewajiban yang bersifat tanpa syarat, artinya tidak boleh ditangguhkan atau ditolak hanya karena alasan emosi, seperti marah, kecewa, atau sedang tidak mood. Kewajiban ini tetap berlaku selama pernikahan belum terputus secara sah.

1. Kewajiban Suami Memberi Nafkah

Memberi makan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lainnya kepada istri adalah kewajiban utama suami, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:

> الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…”
(QS. An-Nisā’: 34)

Nafkah ini wajib diberikan meskipun suami sedang marah atau kecewa terhadap istrinya. Menahan nafkah hanya karena emosi sesaat adalah kezaliman dan bisa menjadi dosa besar, karena merampas hak yang telah ditetapkan oleh syariat.

Jika suami berkata kepada istrinya, “Kamu tidak boleh makan hari ini karena telah menyakiti hatiku,” maka itu adalah ucapan yang menyalahi ajaran Islam. Selama istri masih tinggal bersamanya sebagai istri yang sah, maka hak nafkahnya tidak boleh digugurkan.

2. Kewajiban Istri Melayani Suami dalam Urusan Batin

Sebaliknya, istri juga memiliki kewajiban yang tidak boleh ditolak karena alasan marah atau kecewa, yaitu dalam urusan melayani kebutuhan biologis suami. Rasulullah ﷺ bersabda:

> إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ، فَلَمْ تَأْتِهِ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, lalu istri menolaknya, sehingga suami bermalam dalam keadaan marah, maka malaikat melaknatnya hingga pagi.”
(HR. Bukhārī no. 3237, Muslim no. 1436)

Jika suami masih memiliki hasrat kepada istrinya meskipun sedang marah, itu menunjukkan bahwa ia masih menganggap istrinya sebagai pasangan yang sah dan ia masih menyayanginya. Maka istri tidak boleh menolak hanya karena sedang kecewa atau sakit hati.

Demikian pula, jika istri masih mau makan dari nafkah suaminya meskipun ia sedang dimarahi, maka itu menandakan bahwa ia masih mengakui suaminya sebagai pemimpin rumah tangga. Maka seharusnya tetap ada timbal balik dalam bentuk pelayanan dan ketaatan.

Kesimpulan:

Hubungan suami istri dibangun bukan semata-mata atas dasar perasaan, tetapi berlandaskan pada tanggung jawab dan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah. Emosi boleh ada, namun tidak boleh menjadi alasan untuk melalaikan kewajiban pokok, baik nafkah lahir dari pihak suami, maupun nafkah batin dari pihak istri.

Jika kewajiban ini tetap dijaga meskipun dalam suasana emosi, itu menunjukkan kedewasaan dalam berumah tangga, dan akan menjadi sebab rumah tangga tetap utuh dalam lindungan rahmat Allah.

RELATED POSTS
FOLLOW US